Menuju
Kembali ke Indonesia
Hari keempat di Shanghai, temen
perjalanan saya lagi-lagi mau sarapan ke Jia Jia Tang Bao. Masih harus antri
juga, dan sambil antri, saya jajan the crepes ala China di seberang Jia Jia
Tang Bao. Enak. Kali ini sudah lebih expert pesennya. Selain pesan dua porsi
xiao long bao, kami masing-masing pesen sop telor rumput laut buat teman makan
xiao long bao. Saking ramenya lagi-lagi kami sharing meja dengan pengunjung
lain. Kali ini satu meja dengan dua orang lokal Shanghai yang sibuk ngobrol dan
dua orang cewe Korea yang surprisingly salah satunya udah pernah ke Indonesia.
Setelah kenyang makan, maka kami menuju
ke Qibao Ancient Town dengan naik Metro, turun di Qibao Station dan berjalan
keluar dari Exit 2. Sebenarnya ada 1 lagi water town di Shanghai, namanya Zhu
Jia Jiao, tapi lebih jauh dan ribet. Jadi kami ke Qibao Ancient Town aja yang
lebih deket. Dari Exit 2 ini masih harus berjalan lumayan juga, tapi ga kerasa
jauh soalnya kanan kirinya banyak toko-toko juga. Ada tempat makan juga. Sampai
akhirnya bertemu gerbang masuk bertuliskan Qi Bao Gu Zhen dalam bahasa
Mandarin. Dari gerbang itu, kami berjalan di gang kecil yang kanan kirinya toko
souvenir, toko teh, toko snack, dan ramenya minta ampun. Kami melipir sebentar
di tukang jajan yang jual Tanghulu. Kali ini saya beli Tanghulu yang buahnya
strawberry. Gulanya lebih enak yang di Beijing, lebih empuk dan ga keras. Abis
makan, kami berjalan lagi lebih ke dalam dan menemukan pemandangan yang lazim
ditemui di film-film silat. Jembatan yang bagian bawahnya melengkung dan bisa
dilalui perahu. Ketika ingin melanjutkan berjalan lagi ke gang berikutnya, kami
menyerah sebelum mencoba setelah melihat lautan manusia memenuhi gang itu.
Gerbang depannya Qi Bao Lao Jie |
Jalanan di dalam area Qi Bao Ancient Town |
Jembatan ala film Kabut Cinta :p |
Begitu melihat kerumunan ini, kami menyerah dan mencari jalan lain |
Pulang dari Qibao Ancient Town, kami
kembali lagi ke Nanjiang Pedestrian Road. Ini kok kayanya jadi tempat favorit
kami yah. Baliknya ke sini mulu.
Sebelum meninggalkan Shanghai, kami mau
mencoba Hai Di Lao Hotpot yang terkenal. Lokasinya ada di dalam mall yang
ngakunya sih mall pertama di Shanghai. Begitu sampai sana, kami mengambil nomor
antrian, dan ketika mengantri sudah disuguhi minuman dan cemilan sambil
menunggu. Antriannya panjang sekali. Saya lupa, tapi begitu mengambil nomor
antrian kami sudah dikasi tahu kira-kira harus menunggu berapa lama. Bukan menunggu
berapa menit lagi, tapi sudah harus menunggu berapa jam lagi.
Daripada bengong menunggu, akhirnya kami
bilang ke pelayan kalau kami mau jalan-jalan dulu dan akan kembali lagi
beberapa saat sebelum giliran kami tiba. Alhasil jadinya jalan-jalan lagi di
pedestrian road, kembali ke hotel untuk taruh tas. Dan keluar lagi hanya dengan
membawa dompet dan handphone untuk makan di Hai Di Lao. Untunglah saat kembali
ke sana, kami langsung dapat giliran.
Kami minta sop-nya 2 macam, yang 1 mala
tang yang puedesss ga bisa dimakan. Yang satu sop kaldu biasa aja. Lagi-lagi
kami harus bermain tebak-tebak huruf saat mau pesen. Pesannya pakai iPad dan
semua menu di iPad bertuliskan mandarin. Saya pun minta menu berbahasa Inggris,
dan kami pun sibuk mencocokkan menu berbahasa Inggris di kertas dengan menu
berbahasa Mandarin di iPad.
Waitress nya ga sabaran banget pula
buru-buru nyuruh kami menyudahi order padahal kami masih bingung. Ya sudahlah,
ntar klo kurang order lagi.
Restoran mahal itu beda yah. Kami dikasi
iket rambut buat iket rambut selama makan. Tas ditutupi kain supaya ga kotor
klo-klo ketetesan makanan.
Segala macam saos dan side dish
disediakan di 1 meja tersendiri dan free flow. Saya sih ambil saos kacang dan
daun yensui yang banyak buat cocolan. Ternyata enak loh makan shabu-shabu pake
saos kacang. Emang keliatannya aneh, tapi cocok juga ternyata.
Overall saya lebih doyan makan di
Xiabu-xiabu yang kami coba di Beijing Station sebelum perjalanan ke Shanghai.
Mungkin gara-gara mala tangnya puedess banget sampe semua yang dimasak pakai
mala tang nyaris ga bisa dimakan. Parah.
Selesai makan sudah jam 11 malam, dan
kami berjalan kaki ke hotel melewati Nanjing Pedestrian Road yang sudah sepi
dan sedang dicuci jalanannya. Kontras sekali dengan Nanjing Pedestrian Road
yang kami lewati beberapa jam sebelumnya. Orangnya seperti disulap, voila, sisa
beberapa orang doank yang masih keliaran.
Toko Etude-nya cakep banget |
Akhirnya tiba waktunya kembali ke Jakarta
yang panas dan macet. Paginya sebelum check out, kami sempatnya cari sarapan
bakpao di dekat hotel, mampir ke convenience store dan supermarket dekat hotel.
Dan akhirnya memutuskan ke airport naik Maglev, kereta super cepat Shanghai
untuk ke airport. Speednya bisa sampai 300/400 km/jam, saya lupa deh persisnya.
Beruntung kami cepat sampai di airport
dan dikasi flight lebih awal dari yang seharusnya, sehingga waktu transit kami
di Hongkong lebih lama sedikit. Jadi ga grudak gruduk banget pas transit.
Goodbye China. Kata orang China jorok,
orang-orangnya kasar, ga menyenangkan. Tapi saya suka China. Saya akan kembali
lagi, suatu hari nanti.
Naik Maglev dengan speed 301km/jam. Pusing kalau kelamaan lihat ke luar |
Shanghai Pudong Airport |
Jadi akhirnya, inilah akhirnya cerita perjalanan ke China di bulan Desember tahun lalu. Saatnya menulis lagi untuk perjalanan terbaru, menjelajah negara barat nun jauh di ujung sana yang ga pernah kepikir sebelumnya saya akan pergi ke sana ;)
No comments:
Post a Comment