Sunday, October 23, 2016

Bertualang di Negeri Tirai Bambu (part 4)

Good Bye Beijing, Hello Shanghai 
Hari terakhir di Beijing, saya belum beli titipan mama. Goji berry. Kemarin-kemarin lihat di supermarket, harganya lebih mahal daripada di Indonesia. Sebenernya hari-hari awal di Beijing uda sempet ngelirik, di pasar kaget depan hostel ada yang jual. Tapi karena hari-hari berikutnya selalu keluar pagi, ga sempet mampir ke pasar dulu. Jadi pagi-pagi bela-belain ke pasar. Ga pagi-pagi amat juga sih, karena jam 7 di Beijing mirip jam 5 pagi di Jakarta. Sepertinya efek winter, sunrise lebih siang tapi sunset lebih cepat.

Pasarnya rame banget, penjual saling teriak bersahut-sahutan menawarkan barang dagangannya. Saya jalan cepat-cepat sambal deg-degan kok ga ada yang jual goji berry. Akhirnya nemu jg dan hitungannya bukan per kilo tapi per jin. Saya beli 2 jin, seharga total RMB80. Ntah sih lebih murah apa lebih mahal sama di Jakarta. Tapi selisihnya sedikit dan goji berry nya lebih fresh. Manis, masih agak basah. Enak.

Terus saya beli jeruk 1 jin. Titipan teman, sekalian buat bekal jajan di kereta nanti malam. Perjalanan Beijing – Shanghai ditempuh kurang lebih selama 12 jam. Klo ga punya jajan, ntar laper gimana :p
Jeruknya juga murah. Kalau ga salah inget, 1 jin itu hanya RMB7. Enak, manis lagi.

Setelah rapi packingnya, kami berdua check out dari hostel, tapi menitipkan barang bawaan di hostel. Tujuan terakhir di Beijing hari ini adalah Tiananmen Square dan Forbidden City. Hari terakhir di Beijing, saya ditemani kabut asap yang cukup tebal. Sejauh mata memandang, semua kabut. Ga asik ih. Tapi syukurlah ga perlu sampai harus pakai masker N95 yang sudah dibawa. Selain karena asapnya ga berbau, mata juga ga sampe perih. Anggaplah masih dalam kadar aman haha.
Kabut asap hari itu
Kami naik Metro sampai ke Tiananmen Square, dan dari exit untuk masuk ke Tiananmen Square, kok ternyata ada pagar dan ada antrian warga yang sambil bawa KTP? Atau tanda pengenal apalah untuk masuk ke sana. Atau ada tiketnya? Ga tau deh. Tanya ke salah satu petugas pun ga membuahkan hasil. Ditanya apakah pakai tiket, kalo iya beli di mana. Katanya harus pakai tiket terus doi nunjuk-nunjuk ke satu tempat. Tapi pas disamperin ga ada apa-apa di sana T_T
Akhirnya balik lagi ke kerumunan orang-orang, dan liat ada yang keluarin paspor, ya uda ikutan antri sambil pegang paspor di tangan. Langsung dikasi lewat. Sementara penduduk lokalnya mesti keluarin kartu identitas dan di-scan dulu. Ntah apa maksudnya.

Pas di sana tuh masih bingung, manakah yang Tiananmen Square, manakah yang Forbidden City. Tapi sekarang saya sudah tau hihi.
Tiananmen Square ini 3 sisinya dikelilingi gedung-gedung, tapi saya ga tau juga itu gedung apa aja ahaha.. Sementara sisi satunya menghadap ke Forbidden City.
Tiananmen Square yang menghadap ke gerbang Forbidden City - kabutnya luar biasa ya
 Hari ini dinginnn amit-amit, dan angin rasanya lebih kencang. Tangan sampai mati rasa, pakai sarung tangan tapi susah mau foto pake touch screen. Setelah muter-muterin, akhirnya saya dan teman turun ke jalan bawah tanah, menyebrang menuju ke Forbidden City. Mayann anget sebentar lah di kolong haha.

Walau dingin, ternyata Forbidden City cukup ramai juga. Sayang, mungkin saya datang di saat yang ga tepat. Catnya sudah pudar, jadi kayanya kurang wow gitu. Mungkin belum jadwalnya pengecatan ulang. Memasuki pintu gerbangnya, saya berasa kerdil banget. Pintu segede gitu. Sementara saya kecil doank ada di bagian bawahnya.

Sebelum beli tiket masuk, temen ngajakin masuk ke salah satu toko souvenir yang ada. Aduh ini lumayan banget buat menghangatkan badan. Sambil liat-liat barang yang dijual, sambil menyerap hangat sebanyak-banyaknya haha.
Pas uda deket loket, temen kok ragu-ragu mo beli tiket untuk masuk atau ga *kebiasaan!!* udah di sini masak iya ga mo masuk. Akhirnya beli tiket, tanpa sewa guide elektroniknya. Saya ga ngitung lagi ada berapa lapis pintu di dalam Forbidden City. Masuk pintu, ketemu halaman luassss, jalan di sana, eh ada pintu lagi, di balik pintu, ada halaman luas lagi. Gitu aja terus hihihi.
Sebenarnya rasanya mirip kaya Gyeongbokgung Palace di Seoul kali ya. Istana-istana gitu, yang dalemnya luasssss.. ampe cape ngejalaninnya.
Uda gitu dingin buanget pula. Untunglah beberapa toko souvenir bertebaran di dalam lingkungan Forbidden City. Jadi bisa masuk, liat-liat dan menyerap hangat lagi. Heat pack yang saya bawa ga kuat melawan dinginnya Beijing. Anget yang dihasilkan samar-samar doank.

Bagian depan Forbidden City dengan foto tuan Mao terpampang di dinding bagian depannya
Betapa luas dan besarnya Forbidden City
Coba ada hamparan salju di dalam Forbidden City, pasti lebih menarik lagi deh. Berhubung ga sewa guide eletronik, maka saya pun ga tau juga kisah sejarah di dalamnya, tentang bangunan-bangunan di dalamnya. Cuma yang pasti, pas nonton film The Last Emperor sepulang dari Beijing, saya tau kayanya itu film syutingnya emang di dalem Forbidden City hihi.
Pasti pernah deh liat pemandangan kaya gini di film-film silat atau film-film kerajaan gitu
 Saking gedenya, sampe temen saya tanya ke penjaga toko souvenir, masih seberapa jauh kah pintu exit dari toko souvenir yang lagi kami kunjungi haha. Ternyata ga gitu jauh lagi, makanya pas liat sign “EXIT” langsung girang setengah mati. Dan setelah masuk ke dalam Forbidden City, ga bisa balik arah lagi buat ke luar dari pintu masuk. Harus ngabisin ngejalanin 1 kompleks. Begitu keluar, di depan gerbang keluar ada Jingshan Park. Seharusnya kami naik ke sana. Katanya bisa lihat komplek Forbidden City dari atas bukit. Sayang, temen ga mau, dan kabut lagi tebel banget. Mungkin kalau ke sana juga ga terlalu keliatan juga komplek Forbidden City-nya karena ketutup kabut.
Jingshan Park yang tadinya mau didatengin tapi urung karena kabut terlalu tebal
Pintu keluar Forbidden City yang beda sama lokasi pintu masuknya, bikin kami bingung gimana pulang ke hostel. Untung lah ada papan-papan petunjuk arah. Di dekat pintu keluar ini banyak pedagang kaki lima, dan saya tergoda beli jagung rebus. Mikirnya “kan jagung anget nih, udara lagi dingin banget. Lumayan lah buat pegang-pegang di tangan” ternyata.... penonton kecewa. Jagungnya dingin, sedingin udara hari itu. Enak sih, tapi ga jadi dapat kehangatan dari jagung deh.
Kami jalan kaki mengikuti papan petunjuk, sambil ngemilin jagung. Ternyata, tiba-tiba kami sampai di daerah yang cukup familiar. Yak, kami tiba di hostel. Ya ampyun, ternyata deket haha.

Sampai di hostel, kami duduk sebentar, re-packing, dan akhirnya, chu fa! See you Happy Dragon Hostel. Kami pun menuju Beijing Railway Station untuk naik train menuju Shanghai.
Bagian dalam Beijing Railway Station - tas saya sudah penuh padahal belum ke Shanghai

Bagian dalam train-nya. Nyaman banget
Lorong di gerbong sleeper train

Setelah hampir 12 jam di kereta, duduk *gara2 ga berani nyobain sleeper train*, akhirnya kami sampai di Shanghai. Begitu sampai di Shanghai, teman saya langsung uji nyali mencoba toilet umum di stasiun. Padahal di dalam kereta toiletnya bersih buanget. Tapi hasrat ingin pipis baru muncul saat kena dinginnya udara Shanghai. Padahal Shanghai jauh lebih “hangat” dibanding Beijing dengan suhu di sekitaran 10 derajat Celcius. Bandingkan dengan Beijing yang suhunya selalu di bawah 0 derajat Celcius.

Jadi toiletnya katanya sih, ada sekat-sekatnya. Aman. Tapiii... klosetnya itu.... tak bersekat. Alias berada dalam 1 aliran yang sama. Kalau kita masuk di bilik ke-3, dan kalau di bilik ke-1 dan ke-2 lagi ada orang, maka bakal ada yang “lewat-lewat” tuh karena semuanya bermuara ke satu titik. Pokoknya gitu deh haha.

Dari Shanghai Railway Station, kami naik Metro ke Shanghai Fish Inn Bund. Kartu Metronya beli lagi, namanya Jiao Tong Ka. Tapi saya lupa berapa yang harus disimpan sebagai deposit. Kami pun berjalan mengikuti petunjuk arah untuk sampai ke Shanghai Fish Inn Bund. Sampai di sana, kami disambut resepsionis yang ramah dan fasih banget berbahasa Inggris, dan menginformasikan kamar di sini full. APA?? Untung informasi itu bukan akhir dari segalanya :p
Jadi kami di-refer untuk menginap di Shanghai Fish Inn Bund yang lain, yang lokasinya justru lebih dekat dari exit 6 Metro Station. Oke, sip. Tapi kan jadi kudu jalan balik lagi sambil menahan beban carrier yang berat *lap keringet*

Sambil diantar salah satu staff, kami berjalan menuju sebuah gang, yang bikin saya berasa lagi di Binjai. Mirip banget. Ternyata tempat kami menginap selama di Shanghai ada di gang ini, dan sepertinya kami ga bisa jauh-jauh dari pasar. Sampe cekikikan sendiri pas liat ada beberapa pedagang yang jualan di depan hotel. Begitu check in, kami langsung dipersilakan masuk kamar. Beruntung sekali, karena saat itu masih sekitar jam 9 pagi. Begitu masuk kamarnya, langsung berasa legaaa banget. Setelah kemarin di Beijing dapat kamar apa adanya sesuai harga yang kami bayar. Maka di Shanghai ini terasa begitu istimewa, mewah sekali rasanya. Kamar yang modern, luas, dengan kamar mandi yang manusiawi showernya hihi. Kami pun langsung berbenah, mandi, menyegarkan diri setelah perjalanan hampir 12 jam di kereta.
Kamar yang sangat nyaman di Shanghai Fish Inn Bund
Setelah siap, saatnya bertualang di Shanghai. Kami menyasarkan diri di daerah keramaian Shanghai, berjalan tanpa tujuan yang jelas. Sambil berniat cari makan siang. Ternyata kami berjalan di daerah SCBD nya Shanghai, kantor di mana-mana. Dan karena pas jam makan siang, jadi banyak pegawai kantoran yang lagi ke luar cari makan. Akhirnya kami memutuskan masuk ke salah satu restoran, pesennya nasi goreng huahahaha. Temen jalan saya ga suka makan nasi, alhasil pesennya 1 porsi nasi goreng untuk ber-2. Tapi nambah lauk yang lain lagi. Cuma pelayannya bingung kok cuma pesen dikit padahal 2 orang :p

Abis makan kami jalan kaki lagi, tanpa arah. Saya mampir ke sebuah toko yang jual tanghulu. Cuma RMB8 sodara-sodara. Bukan RMB20 seperti di Wangfujing. Haizz..
Shanghai terasa lebih modern dari Beijing, atau mungkin karena saya jalan-jalan nya di area SCBD ya. Sempat lihat hon on hop off bus yang bisa digunakan untuk keliling Shanghai dengan beberapa pilihan rute yang ada.
Setelah berjalan-jalan sambil menebak-nebak arah, akhirnya kami sampai di East Nanjing Road Pedestrian Walk. Sebuah area yang sepanjang jalannya terdiri dari berbagai toko dan pusat perbelanjaan. Berbagai merk tersedia di sini, dan yang menakjubkan, toko Innisfree 2 lantai ada di ujung jalan dan mentereng banget kalau dilihat dari luar. Rasanya pas di Korea kemarin, saya ga lihat ada toko Innisfree yang segede di Shanghai ini. 
Nanjing Pedestrian Road - masih siang jadi belum keliatan meriah
Uda malem, lampu-lampu menyala dan terlihat makin meriah

Toko Innisfree yang guedee banget
Coklat semua!!
Bahkan ada toko M&M yang jual coklat M&M dan disusun rapi banget per warna, dengan tulisan the great wall of chocolate. Berbagai pernak pernik bernuansa M&M ada di toko ini.

Ternyata lagi, akhirnya kami tahu kalau hotel tempat kami menginap ini lokasinya memang sangat strategis. Malam itu kami pulang dari Nanjing Road dengan berjalan kaki sampai hotel. Dekat sekali ternyata.

Bertualang di Negeri Tirai Bambu (part 3)

Hari Keempat (It’s Ski Day!!)

Ketagihan main ski di Korea awal tahun lalu bikin saya pun ga melewatkan kesempatan untuk kembali main ski di Beijing. Setelah mencari informasi, akhirnya saya memutuskan main ski di Nanshan Ski Village saja. Untuk ke sana, bisa naik shuttle service dari Wudaokou. Harga shuttle-nya RMB25 untuk pergi dan pulang. Berangkat jam 8 pagi dari Wudaokou, dan kembali dari Nanshan Ski Village jam 17.30.
Ternyata cukup ramai orang yang mau ke sana. Untung saya datang pagi, jadi begitu pintu bus dibuka saya langsung masuk dan duduk paling depan. Banyak yang tidak terangkut, tapi sepertinya ada bus ke-dua yang akan datang.
Menunggu di dalam bus - suhu di luar 4 derajat Celcius

Setelah kurang lebih 1 jam perjalanan, akhirnya bus memasuki area parkir. Semua orang langsung buru-buru turun, termasuk saya dan teman. Wuzzz.. angin dingin langsung menyerbu. Ampunnn.. Uda kebingungan mesti ke mana, pake kedinginan parah lagi. Pengennya cepet-cepet masuk ruangan biar hangat. Tapi ternyata harus beli tiket dulu di luar sebelum diijinkan masuk ke dalam pagar Nanshan Ski Village. Setelah beli tiket, saya langsung nyelonong masuk ke ruangan yang ada di depan dan sudah ramai orang. Loketnya banyak, tapi saya bingung karena kebanyakan keterangan di atas loket berbunyi “yun ding” yang artinya sudah book tiket, mungkin lewat email atau telepon. Lah kalau belum punya tiket di mana donk belinya?

Mungkin karena muka bingung saya terlalu tersirat, maka ada yang nanya “udah book belum, kalau belum di luar beli tiketnya.” Ohh.. salah tempat donk.
Tapi pas ke luar, mungkin saking dinginnya, ampe ga keliatan ada deretan loket di sisi kiri. Langsung aja nyelonong masuk ke dalam ruangan besar yang berisi loker dan tempat sewa peralatan ski.  Sementara temen udah nyelonong masuk dan saya masih di luar, langsung didatangi petugas dan ditanyakan tiket. Lah kan ga tau loket di mana, ya belum punya tiket. Terus ditunjukin deh loket berjejer di kiri yang luput dari penglihatan kami berdua. Haiyaaa...

Adegan beli tiket pun ga kalah seru. Sementara petugas di loket ga bisa berbahasa Inggris dan saya hanya berbahasa Mandarin pas-pasan. Ga mudeng-mudeng gimana cara beli tiketnya. Saya ampe nunjukin brosur yang uda diambil di ruangan sebelumnya, kasi tanda centang di brosur buat nunjukin kalau saya mau main ski 3 jam, mau sewa baju dan celana ski, goggles, gloves, ski boots, ski board, poles dan loker. Tapi pas dikasi tau harganya, lah kok mahal pisan. Saya pun kembali menjelaskan saya cuma mau ini itu ini itu. Petugas pun menjelaskan lagi kali ini sambil bilang bahwa kami ga perlu bilang ke dia mau sewa apa aja, itu nanti di dalam, dan tiba-tiba tercetus kata “ya3jin1” berkali-kali. Opo meneh ini “yajin”. Sambil tebak-tebak buah manggis, saya dan teman pun menyimpulkan kalau “yajin” adalah deposit yang akan dikurangi kalau perlengkapan yang kami pinjam ada yang rusak. Oke lah kalau begitu, kami pun langsung membayar sejumlah yang disebutkan, menerima kartu untuk menebus deposit nanti setelah main dan satu kartu lagi untuk proses pinjam meminjam perlengkapan di dalam.

Sampai di dalam, bingung lagi gimana cara sewa perlengkapannya. Hal pertama yang kami lakukan adalah mendekat ke loket yang sepertinya peminjaman baju. Ternyata benar. Di loket pertama ini kami pinjam baju, celana, goggles, gloves dan kunci loker. Tinggal kasi kartu yang tadi dikasi saat beli tiket, beres. Dari situ kami ke tempat peminjaman boots, ski boards dan ski poles. Kok keren banget yang jaga bisa tahu ukuran boots buat saya dan teman tanpa meminta kami menyebutkan nomor sepatu kami.

Peralatan sudah komplit, saatnya bertukar pakaian, menyimpan semua barang di loker dan bersiap-siap meluncur. Ihiyy...
Siap meluncur
Sambil mengingat-ingat ski lesson yang pernah saya terima di awal tahun 2015, saya mencoba memberitahu semua hal yang saya ingat tentang permainan ski ke teman saya yang baru pertama kali mencoba.

Kebetulan hari itu slope-nya sepi. Sebagai seorang beginner, tentu saya ga berani macam-macam naik lift ke atas bukit untuk meluncur. Naik eskalator pun baru dicoba setelah beberapa saat. Nekat sebenarnya. Tapi karena saya lihat sedang sepi, kemungkinan nubruk orang sih nyaris ga ada. Paling juga jatuh sendiri karena ga bisa ngerem hihi.
Keliatan bajunya minjem - kegedean banget *background: slope yang sepi banget*

Naik escalator buat meluncur dari atas
Sepi, bebas ke sana ke mari

Meluruskan kaki setelah lelah bermain-main
Total cuma 5x saya bolak balik naik eskalator dan meluncur ke bawah. Menyenangkan, tapi belum berani terlalu ngebut. Ah menyesal ga milih main sampai all day. Ga kerasa ternyata main 3 jam, belum lagi dikurangi waktu meminjam dan mengembalikan peralatan.

Selesai main dan mengembalikan peralatan, baru jam 1 siang. Kami mampir ke food court di sana, makan siang dulu sambil mikirin gimana caranya balik ke Beijing. Sayang soalnya waktu terbuang di sini cuma buat nungguin shuttle bus balik ke Wudaokou yang baru akan ada jam 17.30. Maka akhirnya dimulailah petualangan berikutnya di ski resort ini.

Sesuai informasi yang sudah saya browse sebelumnya, bahwa bisa kembali ke Beijing dengan naik bus nomor 980. Tapi harus naik taksi dulu dari depan Nanshan Ski Village. Nah, itulah masalahnya. Saya ga tau gimana kasih tau supir taksinya kalau kami mau turun di halte terdekat untuk naik bus nomor 980. Akhirnya minta tolong ke petugas di loket untuk ketikin nama halte bus yang harus dituju dalam huruf mandarin di HP saya. Kemudian saya tanya ke satpam di depan gerbang ski resort ke mana saya harus cari taksi. Eh ternyata taksinya ya di depan gerbang itu. Banyak banget, tapi ternyata taksi ga resmi dengan argo tembak RMB5000. Terus saya ngomong ke pak satpam kalau di website bilang harga taksinya harusnya RMB2500. Pak satpam pun berkelit “ohh itu harga yang dulu”. Ah si bapak mah bisa aja. Cuma gimana lagi, daripada ngabisin waktu sampai jam 17.30 di ski resort dan uda ga main lagi, mendingan balik ke kota. Bisa meng-eksplor tempat yang lain.
Akhirnya saya mengiyakan tarif, dan diantar pak supir ke halte untuk naik bus. Untunglah dapet duduk di bus walau di bagian belakang. Saya tertidur-tidur sepanjang perjalanan. Saat mulai memasuki kota, saya mulai siap-siap mau turun. Tapi bingung juga, udah sampe Dongzhimen apa belum hihi. Akhirnya bus sampai di perhentian terakhir dan semua penumpang turun. Waduh, ini di mana. Tapi untunglah gampang menemukan station Metro.
Di dalam bus kembali ke Beijing
Sampai di hostel, bingung mau ke mana. Kok ya masih ga kepikir buat main-main ke Bird Nest. Malah main ke mall tempat tadi kami turun bus. Di sana nyobain makan Pepper Lunch yang enak dan menunya berbeda dengan menu di Indonesia. Saya pesan paket sukiyaki. Ntah efek laper apa kangen nasi, pesanan saya tandas bersih tak bersisa.

Berhubung ini malem terakhir di Beijing karena besok malem kami sudah pindah ke Shanghai, maka ga lama setelah berkeliling mall, kami pulang ke hostel untuk packing dan bersiap-siap pindah kota ;)

Saturday, October 15, 2016

Bertualang di Negeri Tirai Bambu (part 2)

Hari Ketiga (Mutianyu Great Wall)
Salah satu highlight dari kunjungan ke China, yaitu naik ke Great Wall. Setelah cari informasi ke sana kemari, maka saya dan teman memutuskan untuk menyewa mobil & driver ke Mutianyu melalui website http://www.tour-beijing.com/.
Pertimbangan apakah yang menjadikan kami memutuskan untuk menyewa mobil berikut driver? Hanya satu alasan, supaya puas. Selain itu, saya sudah sering dengar cerita bahwa kebanyakan tour akan membawa turisnya ke toko-toko yang wajib dikunjungi oleh Pemerintah China. Akibatnya waktu di Great Wall jadi sangat terbatas.

Agak mahal, karena hanya berdua, jadi biaya sewa USD 125 hanya kami bagi 2. Biaya ini sudah include bahan bakar dan supir. Tidak perlu pakai tambahan guide lagi karena tujuan kami juga cuma hostel-Mutianyu-hostel. Sebenarnya ada tour lebih murah yang tersedia di Happy Dragon Hostel, tapi kabarnya kalau ikut tour semacam itu pasti dibawa ke toko-toko wajib, sementara di Great Wall nya hanya sebentar. Jadi kami cari aman, tidak apa mahal sedikit yang penting puas.

Kalau tidak salah ingat, perjalanan ke Mutianyu kurang lebih sekitar 1,5 jam. Ketika tiba-tiba sampe supirnya bilang “dao le” alias “sudah sampai”, saya masih merem melek dan teman masih tidur :D. Saya janjian jam 1 siang sama pak driver untuk di-pick up di tempat kami turun.
Sipit efek baru bangun tidur tau-tau sampe
Beijing saat winter ternyata astaga naga dinginnya. Padahal sudah pakai heattech extra warm dan berlapis-lapis baju hangat yang saya punya. Mungkin karena kedinginan pula, otak ikutan beku, dan kami langsung memutuskan beli cable car one way saja untuk turun dari Great Wall. Tanpa mencari informasi kalau sebaiknya kami naik cable car juga untuk naik ke Great Wall. Jadi di loket sebelum naik ke Great Wall, saya cuma beli tiket masuk Great Wall, sementara tiket cable car untuk turun dari Great Wall hanya bisa dibeli di loket di atas.  

Papan petunjuk di sini menurut saya kurang sekali. Sehabis beli tiket, tidak ada petunjuk harus menuju ke mana. Untunglah bertemu dengan rombongan tour yang sedang di-briefing sama tour guidenya sambil menatap peta Great Wall yang tergambar di dinding. Ternyata Mutianyu Great Wall terbagi menjadi beberapa section berupa nomor, kalau naik cable car bisa langsung ke section mana, kemudian untuk turun naik cable car harus naik dari section yang mana. Semua tergambar jelas. Saya dan teman pun kemudian memutuskan untuk naik sampai section 16 saja, kemudian dari sana tinggal turun naik cable car.
Peta Mutianyu Great Wall - maap yang neng, kefoto
Akhirnya kami mulai menaiki tangga yang tersedia, mulai ngos-ngosan, bahkan keringetan, tapi kok ga sampe-sampe. Uda pake duduk dulu makan strawberry yang kami bawa. Disalip sama turis bule yang diantar naik oleh seorang guide, bahkan saat di turis bule udah turun lagi, kami belum sampai juga. Tembok Chinanya belum keliatan juga. Setelah mendaki hampir 45 menit, akhirnya mulai keliatan tembok kokoh besar di bagian atas saya. Tapi tetep aja, ga sampe-sampe *merangkak di tangga*
capeeee

Masih ga ada tanda-tanda penampakan tembok China di atas sana
Akhirnyaaaa *menangis terharu* - terlihat dekat tapi ga sampe-sampe
Ketika akhirnya sampe, kami udah ga kedinginan lagi di atas, akibat exercise menaiki tangga selama kurang lebih 45 menit. Ada untungnya juga ya naik tangga, jadi ga kedinginan lagi.
Mungkin karena winter, turis di Great Wall terbilang sepi. Saya bebas berfoto di mana saja, tanpa takut foto bocor akibat ada orang lewat dan ikut masuk ke dalam frame foto. Saya bebas berhenti di setiap sudut, mengagumi kemegahan tembok China, sambil sesekali melongok ke bagian luar tembok yang masih tertutup salju.
 
Cuma di bagian ini saya menemukan salju masih lumayan banyak tersisa di lantai-nya tembok China

Sepi kan??

Sisa-sisa salju yang menutupi sekitar tembok China Mutianyu
Lucunya lagi, tiba-tiba ada seekor anjing yang kaya jadi guide buat saya dan teman. Anjing itu jalan di depan saya, sambil sesekali menengok ke belakang, semacam memastikan saya masih ada di belakangnya. Kalau saya berhenti foto, si anjing bakal berhenti, semacam nungguin. Ada sekali waktu, si anjing menyelinap ke arah luar tembok, karena saya ga ngikutin, eh anjingnya masuk balik ke tembok lagi. Sampai akhirnya si anjing bete ninggalin saya, karena saya kelamaan berhenti di 1 spot hihi.
Can you spot the dog here?
Mobil sewaan cuma sampe jam 3, maka sekitar jam 1 saya uda mesti ketemu sama drivernya lagi untuk kembali ke hostel. Maka diputuskan saya dan teman cuma akan mendaki sampai tower nomor 16 dan sekitar jam 12 saya dan teman segera menuju loket cable car dan naik cable car kembali ke bawah. Ya ampyun... tau gitu kami naik cable car aja dari tadi. Cuma 5 menit uda sampe, ga pake ngos-ngosan dan pasti masih banyak waktu untuk naik sampai tower nomor 22.

Sebelum kembali ke hostel, saya mampir makan siang dulu di salah satu tempat makan yang ada di area Mutianyu. Seorang adik kecil berumur 10 tahun yang lagi bantuin mamanya, dan penasaran banget saya dan teman dari mana yang hari itu membantu kami memesan makanan.  
Sampai di hostel, hari masih terang. Dalam perjalanan balik, kami melewati daerah Yonghegong Lame Temple, ternyata ga terlalu jauh dari hostel. Di sepanjang jalan, dari dalam mobil terlihat berderet-deret toko-toko giok. Berhubung hari ini emang cuma kunjungan ke Tembok China, jadi ga ada tujuan lain yang mau dicapai lagi hari ini. Saya dan teman pun memutuskan kembali ke Yonghegong Lame Temple aja *kenapa ga ke Bird Nest aja ya?*

Kami berdua menyusuri trotoar sambil menikmati sunset. Tumben hari ini ga terlalu berkabut. Makin lama, makin gelap, makin dingin haha. Toko yang kami kira toko giok, ternyata kebanyakan adalah toko yang menjual peralatan sembahyang. Saya pun jajan kue, klo ga salah namanya shao bing. Saya pesan yang isi kacang tanah. Bentuknya sebenarnya kaya hotteok kalau di Korea, bedanya hotteok digoreng dan isinya cuma satu macem, shao bing dipanggang dalam gentong dan adonan shao bing ini ditempel di dinding gentong dan isinya beraneka rupa bisa dipilih. Unik banget cara masaknya.
Ntah kabut atau emang warnanya begini aja deh :D
Keliatan kan ada sesuatu yang ditempel di dinding gentong
Dan saya lapar mata, pas liat ada stand yang jual berbagai jajanan, saya pun jajan lagi. Cumi ditusuk pakai tusukan sate, kemudian ntah dipanggang atau diapain, dikasi bumbu-bumbu. Terlihat menarik, tapi ternyata rasanya aneh. Tapi uda dibeli, mesti diabisin :p
Abis itu jajan lagi roti abon sama egg tart, tapi ini disimpen buat bekal ke ski resort besok pagi karena pasti ga bakal sempat cari sarapan dulu.

Malemnya, kami kembali ke Wangfujing. Saya pengen cobain tanghulu, sambil liatin makanan-makanan ekstrim yang dijual di sana. Bintang laut, kalajengking, kecoa, dst dst. Ngeliatin aja. Ga niat untuk nyoba sama sekali.
Wangfujing yang selalu ramai - tapi lupa fotoin makanan-makanan ekstrim yang dijual di sana
Ternyata di gang ini, meriah banget. Banyak yang jualan oleh-oleh, mungkin kaya di Bugis atau Chinatown kalau di Singapore. Dan yang menyenangkan, ada Miniso. Toko seperti Daiso yang menjual barang-barang lucu nan murah. Walau ga sebesar dan selengkap Daiso, tapi lumayan banget saya dapet botol minum kaca ukuran 370ml di sini seharga hanya sekitar 40.000 rupiah.

Di depan Miniso, ada penjual tanghulu. Saya langsung beli, tapi bodohnya ga pake tanya harga. Pas bayar “ah di mark up nih, ga mungkin buah-buahan ditusuk di lidi dan dilumuri gula cair ini harganya RMB 20 alias sekitar 44.000 rupiah.” Tapi tanghulu sudah terlanjur di tangan, daripada dikeplak, ya uda bayar aja. Dan kemudian saya tahu saya emang diboongin karena di Shanghai, harga tanghulu Cuma RMB 8, dan pas beli lagi pun paling mahal cuma RMB 12, itupun buahnya strawberry besar-besar dan manis, tapi gulanya lebih enak yang di Beijing. 
Foto bersama tanghulu mahal di depan gerbang yang dalamnya menjual berbagai souvenir dan makanan-makanan ekstrim
Hari ke-3 di Beijing pun ditutup dengan yang manis *alias tanghulu*, tapi mahal