Sunday, December 25, 2016

Pengajuan Visa Schengen



Tanggal 7 Oktober 2016 kemarin, saya dan 2 orang teman udah stand by di Kuningan City dari sebelum jam 8 *ke kantor aja ga sepagi ini* hihi. Kami ber-3 mau mengajukan visa Schengen via Kedutaan Denmark. Kenapa Denmark? Berdasar hasil browsing ke sana kemari, mau apply lewat kedutaan mana itu ditentukan oleh 2 faktor. Faktor pertama adalah negara yang durasi stay-nya paling lama selama di Eropa. Jika mengunjungi beberapa negara dan durasi stay-nya kurang lebih mirip-mirip maka dapat mengajukan visa lewat kedutaan negara yang dimasuki pertama kali begitu mendarat di benua Eropa. Durasi stay kami di Iceland adalah yang paling lama dibanding di Belanda, plus lagi ada stay di Denmark juga, dan Kedutaan Denmark juga yang berhak mengeluarkan visa untuk turis yang mau ke Iceland. Atas dasar itulah kami pun mengajukan visa via kedutaan Denmark.

Semua persyaratan untuk pengajuan visa Schengen via kedutaan Denmark sudah dicantumkan lengkap di web berikut: http://www.vfsglobal.com/denmark/indonesia/tourist_visit.html.
Dokumen yang saya bawa sebagai berikut:

  1. Form aplikasi yang sudah diisi lengkap (bisa di-download dari link di atas) 
  2. Pas foto terbaru ukuran 35mmx45mm dengan latar belakang warna terang atau putih dan ukuran kepala sekitar 70 – 80% dari foto – Ribet? Serahkan saja pada ahlinya. Saya foto di Fuji Film lantai dasar mall Ambassador sebelah All Fresh di depan eskalator, dekat ATM BCA. Saya tinggal bilang ke mas tukang foto, “foto untuk visa Denmark”. Tanpa dikasi tau, mas-nya udah tahu harus pakai background warna apa dan ukuran berapa. Biayanya kemarin Rp. 60.000,- untuk biaya foto dan cetak 4 lembar foto untuk keperluan visa ini dan 4 lembar foto untuk bikin SIM Internasional.
  3. Paspor yang masih berlaku dan paspor lama saya (maklum baru ganti jadi yang baru masih kosong belum ada stempel apapun.
  4. 1 lembar foto copy bagian biodata paspor dan halaman.
  5. Kebetulan ada visa Australia yang dikeluarkan tahun 2014, jadi saya lampirkan juga.
  6. Surat keterangan kerja yang menjelaskan pekerjaan dan durasi bekerja – sempat ada drama pas request surat keterangan kerja ini karena pas jadi suratnya ditujukan ke Embassy of Schengen bukan Embassy of Denmark -_- 
  7. Copy rekening koran 3 bulan terakhir. Saya request minta ke bank untuk diprint dari system soalnya eStatement yang harusnya saya terima via email udah beberapa bulan terakhir ntah kenapa ga masuk lagi ke email saya. Untuk lebih meyakinkan lagi, saya minta stempel dari banknya juga di setiap lembar rekening koran saja. Selain itu, biar makin meyakinkan saya lampirkan juga copy kartu kredit saya yang aktif digunakan.
  8. Copy Kartu Keluarga dan Akte Kelahiran 
  9. Tiket pesawat berangkat dari Jakarta sampai kembali ke Jakarta lagi. Kalau di web-nya sebenarnya dijelaskan kalau tidak disarankan untuk membeli tiket dulu sebelum visa sudah approved. Tapi saya nekat beli dulu karena promo hehe 
  10. Voucher-voucher hotel selama tinggal di Eropa. Karena udah nekat beli tiket pesawat duluan, jadi ga nanggung-nanggung nekatnya juga sekalian udah book akomodasi. Saya ga bikin dummy booking, malas karena nanti harus ingat untuk meng-cancel. Saya book akomodasi via Agoda. Sementara untuk di Iceland nanti karena ikut tour dan sudah include hotel, maka saya ga punya voucher hotelnya. Sebagai gantinya, saya minta semacam surat keterangan dari operator tour yang menjelaskan bahwa saya akan ikut tour dengan mereka dan pada tanggal-tanggal tertentu hotel sudah disediakan oleh pihak tour. 
  11. Copy Travel Medical Insurance. Saya beli travel insurance AIG lewat Dwidaya Tour. Untuk menyiasati supaya lebih murah, maka saya beli paket asuransi untuk berdua dan 1 paket asuransi perorangan. Sesuai informasi yang sudah dicantumkan pada website VFS, travel insurance harus meng-cover equivalent Euro 30.000 dan meng-cover seluruh area Schengen (bukan hanya Denmark). Periode asuransi dihitung sejak berangkat dari Indonesia sampai kembali lagi ke Indonesia. Jadi kalau berangkat tanggal 18 November tapi sampai tanggal 19 November, asuransi sudah dimulai sejak tanggal 18 November. Begitu juga dengan pulangnya, kalau pulang tanggal  2 Desember tapi baru sampai tanggal 3 Desember maka asuransi berakhir pada tanggal 3 Desember.
 Setelah semua dokumen lengkap, jangan lupa siapin uang cash juga =) biayanya 900.000 + 260.000 (semacam biaya administrasi), dan karena saya request supaya terima notifikasi status via email dan sms maka dikenakan biaya tambahan 25.000.

Sebelum jam 8 pagi sudah lumayan ramai di depan pintu masuk VFS. Oh iya, untuk Denmark lokasinya ada di lantai 1 Kuningan City. Selain VFS untuk Denmark, di lantai yang sama ada juga Belanda, Spanyol (tapi katanya per 11 Oktober udah ga di Kuningan City lagi), Italy, Norway, Austria. Jadi waktu di depan pintu, Pak Security akan tanya kita mau ke negara apa. Kebetulan sekali untuk Denmark ini ga perlu bikin appointment kaya Belanda atau Italy. Jadi langsung dateng, bawa dokumen aja. Sebelum masuk nanti akan dikasi kertas nomor antrian, melewati pemeriksaan tas dan metal detector.

Kami memang anak teladan karena dapet antrian pertama haha. Kami bertiga dapat antrian nomor 1, 2 dan 3. Setelah submit dokumen, melakukan pembayaran dan dapet tanda terima, maka perlu menunggu sebentar untuk diambil data biometric-nya. Cuma foto dan sidik jari (saya paling lama dibanding 2 teman yang lain gara2 sidik jari saya emang susaaaaahhh banget dibaca).

Kurang lebih jam 9 pagi urusan apply visa kelar. Di hari yang sama sekitar jam 6 sore saya dapat sms dan email notifikasi yang menginformasikan bahwa aplikasi saya sudah diteruskan ke Kedutaan Denmark. Wah senang, cepet juga.

Tapi ternyata setelah notifikasi yang diterima di tanggal 7 Oktober itu, tidak ada notifikasi lagi yang masuk. Lewat 1 minggu dan statusnya masih sama. Oh iya, untuk mengecek status bisa lewat web VFS juga. Tinggal masukkan reference number dan tanggal lahir. Sampai hari Jumat pagi minggu kedua, tanggal 21 Oktober kemarin pun belum ada notifikasi apapun yang masuk, status pun belum berubah.

Mulai deg-degan nih. Kok lama banget yah. Emang sih sebenarnya standarnya katanya 15 hari kerja. Cuma gara-gara ada teman yang apply pas mo summer holiday, via Kedutaan Denmark juga, tepat 1 minggu doank paspornya udah bisa diambil. Kan jadi berasa punya saya kok lama bener.

Sampai akhirnya hari Jumat, tanggal 21 Oktober kemarin teman saya bilang ada notifikasi yang masuk. Saya langsung cek sms dan email. Taraaa… akhirnyaaa berita yang ditunggu-tunggu selama 2 minggu ini datang juga. Paspor saya udah bisa diambil di VFS lagi. Demikian pula halnya dengan 1 orang teman yang lain. Sementara 1 orang teman yang lain beritanya bahwa paspornya dalam proses pengiriman ke Medan (soalnya 1 temen saya ini ga berdomisili di Jakarta).

Saya pun langsung menerjang hujan yang turun siang itu menuju ke VFS yang kebetulan cuma 10 menit berjalan kaki dari kantor. Pengambilan paspor bisa dilakukan dari pagi jam 8-12 siang, dan dilanjutkan lagi jam 13-16 kalau tidak salah. Yang diperlukan Cuma bawa tanda terima aja. Kalau mau nitip minta diambilin, harus pakai surat kuasa dan ID (ntah ID yang dikasi kuasa atau yang memberi kuasa ya).
Setelah menunggu sebentar, akhirnya saya terima paspor saya lagi, dan setengah deg-degan bukanya.

Voilaa… Visa Schengen tertempel agak miring sedikit di halaman paspor saya (maklum anaknya OCD, pengennya sih dilurusin tapi apa daya)

Akhirnyaaa, lega rasanya visa sudah keluar. Deg-degan banget klo sampe ga dapet karena rasanya udah sekitar 80% persiapan yang kami lakukan dan sudah kami bayar. Tiket pesawat, hotel-hotel, DP tour. 

Ternyata mengurus visa ga seribet yang dibayangkan kok. Klo menakutkannya sih tetep iya, takut ga lolos, kan rugi bandar :D

Bertualang di Negeri Tirai Bambu (part 6-tamat)


 Menuju Kembali ke Indonesia
Hari keempat di Shanghai, temen perjalanan saya lagi-lagi mau sarapan ke Jia Jia Tang Bao. Masih harus antri juga, dan sambil antri, saya jajan the crepes ala China di seberang Jia Jia Tang Bao. Enak. Kali ini sudah lebih expert pesennya. Selain pesan dua porsi xiao long bao, kami masing-masing pesen sop telor rumput laut buat teman makan xiao long bao. Saking ramenya lagi-lagi kami sharing meja dengan pengunjung lain. Kali ini satu meja dengan dua orang lokal Shanghai yang sibuk ngobrol dan dua orang cewe Korea yang surprisingly salah satunya udah pernah ke Indonesia.

Setelah kenyang makan, maka kami menuju ke Qibao Ancient Town dengan naik Metro, turun di Qibao Station dan berjalan keluar dari Exit 2. Sebenarnya ada 1 lagi water town di Shanghai, namanya Zhu Jia Jiao, tapi lebih jauh dan ribet. Jadi kami ke Qibao Ancient Town aja yang lebih deket. Dari Exit 2 ini masih harus berjalan lumayan juga, tapi ga kerasa jauh soalnya kanan kirinya banyak toko-toko juga. Ada tempat makan juga. Sampai akhirnya bertemu gerbang masuk bertuliskan Qi Bao Gu Zhen dalam bahasa Mandarin. Dari gerbang itu, kami berjalan di gang kecil yang kanan kirinya toko souvenir, toko teh, toko snack, dan ramenya minta ampun. Kami melipir sebentar di tukang jajan yang jual Tanghulu. Kali ini saya beli Tanghulu yang buahnya strawberry. Gulanya lebih enak yang di Beijing, lebih empuk dan ga keras. Abis makan, kami berjalan lagi lebih ke dalam dan menemukan pemandangan yang lazim ditemui di film-film silat. Jembatan yang bagian bawahnya melengkung dan bisa dilalui perahu. Ketika ingin melanjutkan berjalan lagi ke gang berikutnya, kami menyerah sebelum mencoba setelah melihat lautan manusia memenuhi gang itu.
Gerbang depannya Qi Bao Lao Jie
Jalanan di dalam area Qi Bao Ancient Town
Jembatan ala film Kabut Cinta :p

Begitu melihat kerumunan ini, kami menyerah dan mencari jalan lain
Pulang dari Qibao Ancient Town, kami kembali lagi ke Nanjiang Pedestrian Road. Ini kok kayanya jadi tempat favorit kami yah. Baliknya ke sini mulu.
Sebelum meninggalkan Shanghai, kami mau mencoba Hai Di Lao Hotpot yang terkenal. Lokasinya ada di dalam mall yang ngakunya sih mall pertama di Shanghai. Begitu sampai sana, kami mengambil nomor antrian, dan ketika mengantri sudah disuguhi minuman dan cemilan sambil menunggu. Antriannya panjang sekali. Saya lupa, tapi begitu mengambil nomor antrian kami sudah dikasi tahu kira-kira harus menunggu berapa lama. Bukan menunggu berapa menit lagi, tapi sudah harus menunggu berapa jam lagi.
Meriahnya lampu-lampu di Nanjing Pedestrian Road - ntah kenapa orang-orang itu ngeliat ke atas
Daripada bengong menunggu, akhirnya kami bilang ke pelayan kalau kami mau jalan-jalan dulu dan akan kembali lagi beberapa saat sebelum giliran kami tiba. Alhasil jadinya jalan-jalan lagi di pedestrian road, kembali ke hotel untuk taruh tas. Dan keluar lagi hanya dengan membawa dompet dan handphone untuk makan di Hai Di Lao. Untunglah saat kembali ke sana, kami langsung dapat giliran.
Kami minta sop-nya 2 macam, yang 1 mala tang yang puedesss ga bisa dimakan. Yang satu sop kaldu biasa aja. Lagi-lagi kami harus bermain tebak-tebak huruf saat mau pesen. Pesannya pakai iPad dan semua menu di iPad bertuliskan mandarin. Saya pun minta menu berbahasa Inggris, dan kami pun sibuk mencocokkan menu berbahasa Inggris di kertas dengan menu berbahasa Mandarin di iPad.
Waitress nya ga sabaran banget pula buru-buru nyuruh kami menyudahi order padahal kami masih bingung. Ya sudahlah, ntar klo kurang order lagi.
Makan shabu-shabu dicocol saos kacang nih enak ternyata
Restoran mahal itu beda yah. Kami dikasi iket rambut buat iket rambut selama makan. Tas ditutupi kain supaya ga kotor klo-klo ketetesan makanan.
Segala macam saos dan side dish disediakan di 1 meja tersendiri dan free flow. Saya sih ambil saos kacang dan daun yensui yang banyak buat cocolan. Ternyata enak loh makan shabu-shabu pake saos kacang. Emang keliatannya aneh, tapi cocok juga ternyata.
Overall saya lebih doyan makan di Xiabu-xiabu yang kami coba di Beijing Station sebelum perjalanan ke Shanghai. Mungkin gara-gara mala tangnya puedess banget sampe semua yang dimasak pakai mala tang nyaris ga bisa dimakan. Parah.

Selesai makan sudah jam 11 malam, dan kami berjalan kaki ke hotel melewati Nanjing Pedestrian Road yang sudah sepi dan sedang dicuci jalanannya. Kontras sekali dengan Nanjing Pedestrian Road yang kami lewati beberapa jam sebelumnya. Orangnya seperti disulap, voila, sisa beberapa orang doank yang masih keliaran.
Jalanan basah karena sedang dicuci, dan orang-orang udah menghilang semua 
Toko Etude-nya cakep banget
Besok kami sudah kembali ke Indonesia, dan malam terakhir tentu harus packing mati-matian. Carrier pinjaman yang saya pakai modelnya top loader. Susah sekali menata barang ke dalam carrier kalau aksesnya hanya dari bagian atas saja. Saya pun packing sembarangan dan memanfaatkan travel bag yang emang udah saya siapkan dari Jakarta untuk menampung barang-barang yang udah ga bisa masuk lagi ke dalam carrier.

Akhirnya tiba waktunya kembali ke Jakarta yang panas dan macet. Paginya sebelum check out, kami sempatnya cari sarapan bakpao di dekat hotel, mampir ke convenience store dan supermarket dekat hotel. Dan akhirnya memutuskan ke airport naik Maglev, kereta super cepat Shanghai untuk ke airport. Speednya bisa sampai 300/400 km/jam, saya lupa deh persisnya.
Beruntung kami cepat sampai di airport dan dikasi flight lebih awal dari yang seharusnya, sehingga waktu transit kami di Hongkong lebih lama sedikit. Jadi ga grudak gruduk banget pas transit.
Goodbye China. Kata orang China jorok, orang-orangnya kasar, ga menyenangkan. Tapi saya suka China. Saya akan kembali lagi, suatu hari nanti.
Naik Maglev dengan speed 301km/jam. Pusing kalau kelamaan lihat ke luar

Shanghai Pudong Airport
Astaga, butuh waktu satu tahun buat menamatkan cerita tentang perjalanan ke China *memang saya terlalu malas meng-update ke Blog, padahal sih udah jadi ceritanya di Word*
Jadi akhirnya, inilah akhirnya cerita perjalanan ke China di bulan Desember tahun lalu. Saatnya menulis lagi untuk perjalanan terbaru, menjelajah negara barat nun jauh di ujung sana yang ga pernah kepikir sebelumnya saya akan pergi ke sana ;)