Good Bye Beijing, Hello Shanghai
Hari terakhir di Beijing, saya belum beli titipan mama. Goji berry.
Kemarin-kemarin lihat di supermarket, harganya lebih mahal daripada di
Indonesia. Sebenernya hari-hari awal di Beijing uda sempet ngelirik, di pasar
kaget depan hostel ada yang jual. Tapi karena hari-hari berikutnya selalu
keluar pagi, ga sempet mampir ke pasar dulu. Jadi pagi-pagi bela-belain ke
pasar. Ga pagi-pagi amat juga sih, karena jam 7 di Beijing mirip jam 5 pagi di
Jakarta. Sepertinya efek winter, sunrise lebih siang tapi sunset lebih cepat.
Pasarnya rame banget, penjual saling teriak bersahut-sahutan menawarkan
barang dagangannya. Saya jalan cepat-cepat sambal deg-degan kok ga ada yang
jual goji berry. Akhirnya nemu jg dan hitungannya bukan per kilo tapi per jin.
Saya beli 2 jin, seharga total RMB80. Ntah sih lebih murah apa lebih mahal sama
di Jakarta. Tapi selisihnya sedikit dan goji berry nya lebih fresh. Manis,
masih agak basah. Enak.
Terus saya beli jeruk 1 jin. Titipan teman, sekalian buat bekal jajan di
kereta nanti malam. Perjalanan Beijing – Shanghai ditempuh kurang lebih selama
12 jam. Klo ga punya jajan, ntar laper gimana :p
Jeruknya juga murah. Kalau ga salah inget, 1 jin itu hanya RMB7. Enak, manis lagi.
Setelah rapi packingnya, kami berdua
check out dari hostel, tapi menitipkan barang bawaan di hostel. Tujuan terakhir
di Beijing hari ini adalah Tiananmen Square dan Forbidden City. Hari terakhir
di Beijing, saya ditemani kabut asap yang cukup tebal. Sejauh mata memandang,
semua kabut. Ga asik ih. Tapi syukurlah ga perlu sampai harus pakai masker N95
yang sudah dibawa. Selain karena asapnya ga berbau, mata juga ga sampe perih.
Anggaplah masih dalam kadar aman haha.
Kami naik Metro sampai ke Tiananmen
Square, dan dari exit untuk masuk ke Tiananmen Square, kok ternyata ada pagar
dan ada antrian warga yang sambil bawa KTP? Atau tanda pengenal apalah untuk
masuk ke sana. Atau ada tiketnya? Ga tau deh. Tanya ke salah satu petugas pun
ga membuahkan hasil. Ditanya apakah pakai tiket, kalo iya beli di mana. Katanya
harus pakai tiket terus doi nunjuk-nunjuk ke satu tempat. Tapi pas disamperin
ga ada apa-apa di sana T_T
Akhirnya balik lagi ke kerumunan
orang-orang, dan liat ada yang keluarin paspor, ya uda ikutan antri sambil
pegang paspor di tangan. Langsung dikasi lewat. Sementara penduduk lokalnya
mesti keluarin kartu identitas dan di-scan dulu. Ntah apa maksudnya.
Pas di sana tuh masih bingung, manakah
yang Tiananmen Square, manakah yang Forbidden City. Tapi sekarang saya sudah
tau hihi.
Tiananmen Square ini 3 sisinya
dikelilingi gedung-gedung, tapi saya ga tau juga itu gedung apa aja ahaha..
Sementara sisi satunya menghadap ke Forbidden City.
Tiananmen Square yang menghadap ke gerbang Forbidden City - kabutnya luar biasa ya |
Walau dingin, ternyata Forbidden City
cukup ramai juga. Sayang, mungkin saya datang di saat yang ga tepat. Catnya
sudah pudar, jadi kayanya kurang wow gitu. Mungkin belum jadwalnya pengecatan
ulang. Memasuki pintu gerbangnya, saya berasa kerdil banget. Pintu segede gitu.
Sementara saya kecil doank ada di bagian bawahnya.
Sebelum beli tiket masuk, temen ngajakin
masuk ke salah satu toko souvenir yang ada. Aduh ini lumayan banget buat
menghangatkan badan. Sambil liat-liat barang yang dijual, sambil menyerap
hangat sebanyak-banyaknya haha.
Pas uda deket loket, temen kok ragu-ragu
mo beli tiket untuk masuk atau ga *kebiasaan!!* udah di sini masak iya ga mo
masuk. Akhirnya beli tiket, tanpa sewa guide elektroniknya. Saya ga ngitung
lagi ada berapa lapis pintu di dalam Forbidden City. Masuk pintu, ketemu
halaman luassss, jalan di sana, eh ada pintu lagi, di balik pintu, ada halaman
luas lagi. Gitu aja terus hihihi.
Sebenarnya rasanya mirip kaya
Gyeongbokgung Palace di Seoul kali ya. Istana-istana gitu, yang dalemnya
luasssss.. ampe cape ngejalaninnya.
Uda gitu dingin buanget pula. Untunglah
beberapa toko souvenir bertebaran di dalam lingkungan Forbidden City. Jadi bisa
masuk, liat-liat dan menyerap hangat lagi. Heat pack yang saya bawa ga kuat
melawan dinginnya Beijing. Anget yang dihasilkan samar-samar doank.
Bagian depan Forbidden City dengan foto tuan Mao terpampang di dinding bagian depannya |
Betapa luas dan besarnya Forbidden City |
Coba ada hamparan salju di dalam
Forbidden City, pasti lebih menarik lagi deh. Berhubung ga sewa guide
eletronik, maka saya pun ga tau juga kisah sejarah di dalamnya, tentang
bangunan-bangunan di dalamnya. Cuma yang pasti, pas nonton film The Last
Emperor sepulang dari Beijing, saya tau kayanya itu film syutingnya emang di
dalem Forbidden City hihi.
Pasti pernah deh liat pemandangan kaya gini di film-film silat atau film-film kerajaan gitu |
Pintu keluar Forbidden City yang beda
sama lokasi pintu masuknya, bikin kami bingung gimana pulang ke hostel. Untung
lah ada papan-papan petunjuk arah. Di dekat pintu keluar ini banyak pedagang
kaki lima, dan saya tergoda beli jagung rebus. Mikirnya “kan jagung anget nih,
udara lagi dingin banget. Lumayan lah buat pegang-pegang di tangan”
ternyata.... penonton kecewa. Jagungnya dingin, sedingin udara hari itu. Enak
sih, tapi ga jadi dapat kehangatan dari jagung deh.
Kami jalan kaki mengikuti papan petunjuk,
sambil ngemilin jagung. Ternyata, tiba-tiba kami sampai di daerah yang cukup
familiar. Yak, kami tiba di hostel. Ya ampyun, ternyata deket haha.
Sampai di hostel, kami duduk sebentar,
re-packing, dan akhirnya, chu fa! See you Happy Dragon Hostel. Kami pun menuju
Beijing Railway Station untuk naik train menuju Shanghai.
Bagian dalam train-nya. Nyaman banget |
Lorong di gerbong sleeper train |
Jadi toiletnya katanya sih, ada sekat-sekatnya. Aman. Tapiii... klosetnya itu.... tak bersekat. Alias berada dalam 1 aliran yang sama. Kalau kita masuk di bilik ke-3, dan kalau di bilik ke-1 dan ke-2 lagi ada orang, maka bakal ada yang “lewat-lewat” tuh karena semuanya bermuara ke satu titik. Pokoknya gitu deh haha.
Dari Shanghai Railway Station, kami naik
Metro ke Shanghai Fish Inn Bund. Kartu Metronya beli lagi, namanya Jiao Tong
Ka. Tapi saya lupa berapa yang harus disimpan sebagai deposit. Kami pun
berjalan mengikuti petunjuk arah untuk sampai ke Shanghai Fish Inn Bund. Sampai
di sana, kami disambut resepsionis yang ramah dan fasih banget berbahasa
Inggris, dan menginformasikan kamar di sini full. APA?? Untung informasi itu
bukan akhir dari segalanya :p
Jadi kami di-refer untuk menginap di
Shanghai Fish Inn Bund yang lain, yang lokasinya justru lebih dekat dari exit 6
Metro Station. Oke, sip. Tapi kan jadi kudu jalan balik lagi sambil menahan beban
carrier yang berat *lap keringet*
Sambil diantar salah satu staff, kami
berjalan menuju sebuah gang, yang bikin saya berasa lagi di Binjai. Mirip
banget. Ternyata tempat kami menginap selama di Shanghai ada di gang ini, dan
sepertinya kami ga bisa jauh-jauh dari pasar. Sampe cekikikan sendiri pas liat
ada beberapa pedagang yang jualan di depan hotel. Begitu check in, kami
langsung dipersilakan masuk kamar. Beruntung sekali, karena saat itu masih
sekitar jam 9 pagi. Begitu masuk kamarnya, langsung berasa legaaa banget.
Setelah kemarin di Beijing dapat kamar apa adanya sesuai harga yang kami bayar.
Maka di Shanghai ini terasa begitu istimewa, mewah sekali rasanya. Kamar yang modern, luas, dengan kamar
mandi yang manusiawi showernya hihi. Kami pun langsung berbenah, mandi,
menyegarkan diri setelah perjalanan hampir 12 jam di kereta.
Setelah siap, saatnya bertualang di
Shanghai. Kami menyasarkan diri di daerah keramaian Shanghai, berjalan tanpa
tujuan yang jelas. Sambil berniat cari makan siang. Ternyata kami berjalan di
daerah SCBD nya Shanghai, kantor di mana-mana. Dan karena pas jam makan siang,
jadi banyak pegawai kantoran yang lagi ke luar cari makan. Akhirnya kami
memutuskan masuk ke salah satu restoran, pesennya nasi goreng huahahaha. Temen
jalan saya ga suka makan nasi, alhasil pesennya 1 porsi nasi goreng untuk
ber-2. Tapi nambah lauk yang lain lagi. Cuma pelayannya bingung kok cuma pesen
dikit padahal 2 orang :p
Abis makan kami jalan kaki lagi, tanpa
arah. Saya mampir ke sebuah toko yang jual tanghulu. Cuma RMB8 sodara-sodara.
Bukan RMB20 seperti di Wangfujing. Haizz..
Shanghai terasa lebih modern dari
Beijing, atau mungkin karena saya jalan-jalan nya di area SCBD ya. Sempat lihat
hon on hop off bus yang bisa digunakan untuk keliling Shanghai dengan beberapa
pilihan rute yang ada.
Setelah berjalan-jalan sambil
menebak-nebak arah, akhirnya kami sampai di East Nanjing Road Pedestrian Walk.
Sebuah area yang sepanjang jalannya terdiri dari berbagai toko dan pusat
perbelanjaan. Berbagai merk
tersedia di sini, dan yang menakjubkan, toko Innisfree 2 lantai ada di ujung
jalan dan mentereng banget kalau dilihat dari luar. Rasanya pas di Korea
kemarin, saya ga lihat ada toko Innisfree yang segede di Shanghai ini.
Nanjing Pedestrian Road - masih siang jadi belum keliatan meriah |
Uda malem, lampu-lampu menyala dan terlihat makin meriah |
Toko Innisfree yang guedee banget |
Coklat semua!! |
Ternyata lagi, akhirnya kami tahu kalau hotel tempat kami menginap ini lokasinya memang sangat strategis. Malam itu kami pulang dari Nanjing Road dengan berjalan kaki sampai hotel. Dekat sekali ternyata.