19 November 2016
Sapaan
“Apa kabar?” dan “Terima kasih” dari seorang mas bule petugas imigrasi di
Bandara Schipol, Amsterdam mengawali perjalanan 14 hari saya dan teman-teman di
benua Eropa.
Begitu
paspor dicap, saya dan teman langsung mendorong koper kami keluar dari
imigrasi, melewati bagian custom dan untunglah kami bertiga berikut rendang ½
kilo dalam koper saya berhasil memasuki Belanda dengan selamat tanpa kena
random check.
Hal
pertama yang kami lakukan adalah mencari SIM Card, kebetulan banget ada booth
Lebara di dekat tempat kami berdiri. Maka kami langsung beli 1 SIM Card untuk
dipakai beramai-ramai selama 5 hari kami di Belanda.
Hal
kedua yang dilakukan, dan sebenarnya norak adalah keluar dari airport dan
mencari tulisan “Schipol” yang sering jadi spot foto orang-orang. Padahal
seharusnya kami tinggal naik train dari dalam airport, tidak perlu keluar dulu.
Tapi demi kepentingan dokumentasi :p kami bela-belain deh tarik-tarik koper keluar
dari bandara sebentar, foto, lalu balik lagi ke dalam bandara.
|
Berfoto di depan tulisan Schipol yang tersohor |
Buat
ke Corendon Vitality Hotel, kami harus naik train dulu ke Stasiun Lelylaan,
baru kemudian naik metro nomor 50 dan turun di Isolatorwerg yang dekat dengan
hotel. Tinggal tarik-tarik koper lagi, dan sampailah kami di Corendon Vitality
Hotel. Proses pembelian tiket train di bandara ga ribet, karena selain bisa
beli lewat mesin, ada berderet counter tiket yang melayani pembelian. Jadi
kalau ga yakin beli lewat mesin, bisa antri aja di counter dan bisa beli sambil
tanya untuk memastikan. Sementara pas di stasiun Lelylaan, petugas ga ada
*sebenarnya ada counternya tapi ntah ke mana petugasnya*, terpaksa beli lewat
mesin, dan kebingungan. Untunglah bertemu seorang ibu baik yang membantu kami
membeli tiket lewat mesin.
Kami
mendarat di Belanda sekitar jam 12.30 waktu Belanda, setelah terbang
berbelas-belas jam lamanya. Badan masih cape, belum lagi jet lag. Hari itu kami
cuma jalan-jalan sebentar ke Dam Square,
makan di Mc D, foto-foto sebentar, belanja groceries di Albert Heijn, dan
kembali ke Hotel. Hotelnya walau jauh dari pusat keramaian, tapi dikelilingi sama public transportation yang mempermudah hidup. Ada stasiun metro Isolatorwerg, dan ada halte tram line 2 bernama Johan Huizingalaan.
Hari pertama di Belanda, saya langsung melihat keterikatan
antara Indonesia dan Belanda, mungkin efek Indonesia lama dijajah Belanda kali
ya. Jadi banyak bahasa Indonesia yang memang merupakan bahasa serapan dari
bahasa Belanda. Di Mc D, salah seorang kasirnya mengajak kami ngobrol dan
begitu tahu kami dari Indonesia, dia langsung berbahasa Indonesia walau
bahasanya sangat baku dan logatnya ala bule banget. Ternyata bapaknya orang
Makassar yang menikah dengan orang Belanda dan mereka tinggal di Belanda. Di
supermarketnya terpampang poster bertulisan “Gratis”, yang tentu spellingnya
berbeda karena “G” di Belanda kabarnya dibaca seperti huruf “H” tapi susah deh H-nya. Selain itu di rak-rak barang di supermarket pun banyak saya temui
produk-produk yang harusnya sih bertuliskan bahasa Indonesia, seperti emping
blado dan ketjap manis, bumbu nasi dan bami goreng. Ah menarik sekali.
Malam
pertama di Belanda, saya ngantuk luar biasa. Mungkin efek jet lag, selain itu
selama di pesawat kan juga ga tidur nyenyak banget. Maka hari pertama di
Belanda berlalu begitu saja. Kami pulang ke hotel dan tidur cepat untuk
mengembalikan energi yang terkuras karena besoknya kami akan memulai perjalanan
ke luar kota dengan mengendarai mobil sewaan.
20 November 2016
Efek
jetlag bikin saya uda kebangun jam 5 pagi, kelaperan pula. Setelah memaksakan
mata untuk tetap terpejam sambil berharap bisa tertidur lagi, akhirnya jam 6
pagi saya menyerah, bangun dan masak air panas buat merendam Super Bubur yang
saya bawa dari Indonesia. Teman-teman saya ternyata udah pada ga bisa tidur
juga. Maklum lah, jam 5 pagi di Belanda, udah jam 11 siang di Indonesia. Badan
kami masih badan Indonesia. Setelah menyiapkan bekal buat makan siang di perjalanan
nanti (saya bawa nasi sama rendang), kami pun berangkat menuju ke tempat
persewaan mobil Europcar.
Kami
membeli 24 hours pass dari resepsionis hotel untuk naik tram, seharga 8,5 euro.
Menurut petunjuk yang didapat teman saya, kami harus naik tram nomor 2 ke halte Corn. Schuytstraat, terus berjalan melewati Vondel Park. Beruntung kami bertemu seorang
penduduk lokal ganteng yang lagi bawa anjingnya jalan pagi dan ternyata pernah
tinggal di Indonesia, melihat kami kebingungan, dia menghampiri dan menunjukkan
jalan sampai di satu titik kami harus mengandalkan diri sendiri lagi, tentu
berdasarkan petunjuk yang ditinggalkan oleh si om ganteng tersebut.
|
Bulan November ternyata masih musim gugur di Belanda - kirain sudah masuk musim dingin |
Sampai
di kantor Europcar, kami mengisi data, menunjukkan SIM Nasional dan SIM
International dan di-briefing tentang mobil yang kami sewa, Peugeot matic ntah
tipe apa. Modelnya kecil kaya Honda Jazz. Di antara kami ber-3, hanya saya dan
seorang teman yang bisa nyetir. Saya yang menyetir pertama gara-gara kalah pas undian
hahaha. Duh, grogi. Setir kiri-nya ternyata ga terlalu jadi masalah. Masalahnya
adalah letak tongkat wiper dan lampu sein yang terbalik. Alhasil saya salah
mulu. Rambu-rambu lalu lintas sangat jelas, kelewat jelas malah. Menyetir di
dalam kota jauh lebih pusing, tapi begitu udah menuju jalanan ke luar kota
(semacam highway alias jalan tol di Indonesia), udah enak banget. Tinggal lurus
aja, sambil tetap memperhatikan laju kendaraan karena di beberapa potongan
jalan, maximum speed-nya beda-beda.
Setelah
berkendara hampir 2 jam, sampailah kami di Giethoorn. GPS yang ada di mobil
mewajibkan kita untuk menginput nama jalan dengan lengkap. Sementara kebiasaan
saya dan teman kalau pakai Waze di Jakarta, ya tinggal menginput nama lokasi
yang ingin dituju. Sementara, tidak ada petunjuk mengenai nama jalan lokasi
desa wisata Giethoorn. Alhasil kami berputar-putar kebingungan mencari di mana
kami harus parkir dan di mana sebenarnya desa wisata Giethoorn seperti
foto-foto yang ada di internet. Untunglah setelah berputar-putar dan sedikit
sok tahu, sampailah kami di area parkir depan supermarket. Ternyata di
belakangnya ada sebuah cafe kecil yang menyewakan perahu untuk berkeliling
Giethoorn. Setelah beli tiket, kami kembali ke mobil untuk makan siang soalnya
perahu baru berangkat 1 jam lagi *lagi-lagi ketemu bule ganteng yang jaga
loket*.
Setelah
1 jam berkeliling dengan perahu, kami sampai kembali di titik awal
keberangkatan dan kami memutuskan untuk berjalan kaki mengelilingi Giethoorn,
napak tilas lagi rute-rute yang tadi dilewati perahu.
Setelah
berputar sebentar, kami memutuskan kembali ke mobil karena angin yang mendadak
bertiup super kencang, kalau kurang berat badan sih sepertinya bisa
diterbangkan angin hahaha.
|
Sebenarnya ada kok jalan setapaknya di Giethoorn |
|
Boat sedang melintasi salah satu kanal di Giethoorn |
Dari
Giethoorn kami kembali ke Amsterdam, di perjalanan saya menyupir, ngantuk luar
biasa. Lagi-lagi masih jetlag. Untung ada cemilan dan teman mengobrol. Malam
itu kami ke Heineken Museum di Amsterdam. Cari parkirnya susah banget, bingung
harus parkir di mana. Tapi akhirnya kami menemukan jalanan kecil yang di kanan
jalanannya penuh oleh mobil parkir dan ada satu slot kosong yang muat untuk
mobil kecil kami.
Tiket masuk Heineken Museum sebesar 18 euro, sudah termasuk free 2 gelas bir. Museumnya menarik, menceritakan sejarah Heineken, proses pembuatan bir, sampai ada mesin-mesin brewing juga dipajang di museum ini. Jadi bir itu sebenarnya air kok, karena 94% air dan sisanya hops, barley dan yeast. Selain itu, ada juga jejeran kandang kuda berikut kudanya yang ternyata sampai sekarang pun kuda masih digunakan sebagai bagian dari promosi Heineken. Pada hari tertentu kuda-kuda ini akan berkeliling kota mempromosikan Heineken.
|
Bahan-bahan buat bir - 94% water, sisanya barley, hops dan yeast |
|
Suasana di dalam musium-nya - yang gede-gede itu tempat buat nge-brew jaman dahulu kala |
|
Tersangka yang bikin saya mual dan pusing - enak banget padahal, dinginnya pas |
Ada kejadian menyebalkan buat saya di sini. Akibat minum satu gelas bir dalam sekali tarikan napas-maklum haus banget, dalam keadaan perut kosong, saya hampir pingsan. Pandangan sudah hampir hitam semua, mual, sempoyongan, keringat dingin-tapi karena winter keringatnya ga keluar, cuma dinginnya doank. Kunci mobil langsung saya serahkan ke teman. Tapi untunglah setelah duduk sebentar, keadaan membaik, dan setelah makan korean BBQ di restoran Korea bernama Khan, saya langsung segar kembali hihi
|
Restoran nya dikelola orang keluarga Korea yang lagi party karena ada salah satu dari keluarganya yang mo balik ke Korea |
Demikianlah petualangan di hari ke-2 yang ditutup dengan makan Korean BBQ. Kemanapun perginya, makannya tetap makanan Korea.