Tuesday, January 31, 2017

Belanda part 1 - Menghadapi Jetlag di Belanda



19 November 2016
Sapaan “Apa kabar?” dan “Terima kasih” dari seorang mas bule petugas imigrasi di Bandara Schipol, Amsterdam mengawali perjalanan 14 hari saya dan teman-teman di benua Eropa.

Begitu paspor dicap, saya dan teman langsung mendorong koper kami keluar dari imigrasi, melewati bagian custom dan untunglah kami bertiga berikut rendang ½ kilo dalam koper saya berhasil memasuki Belanda dengan selamat tanpa kena random check.

Hal pertama yang kami lakukan adalah mencari SIM Card, kebetulan banget ada booth Lebara di dekat tempat kami berdiri. Maka kami langsung beli 1 SIM Card untuk dipakai beramai-ramai selama 5 hari kami di Belanda.

Hal kedua yang dilakukan, dan sebenarnya norak adalah keluar dari airport dan mencari tulisan “Schipol” yang sering jadi spot foto orang-orang. Padahal seharusnya kami tinggal naik train dari dalam airport, tidak perlu keluar dulu. Tapi demi kepentingan dokumentasi :p kami bela-belain deh tarik-tarik koper keluar dari bandara sebentar, foto, lalu balik lagi ke dalam bandara.
Berfoto di depan tulisan Schipol yang tersohor
Buat ke Corendon Vitality Hotel, kami harus naik train dulu ke Stasiun Lelylaan, baru kemudian naik metro nomor 50 dan turun di Isolatorwerg yang dekat dengan hotel. Tinggal tarik-tarik koper lagi, dan sampailah kami di Corendon Vitality Hotel. Proses pembelian tiket train di bandara ga ribet, karena selain bisa beli lewat mesin, ada berderet counter tiket yang melayani pembelian. Jadi kalau ga yakin beli lewat mesin, bisa antri aja di counter dan bisa beli sambil tanya untuk memastikan. Sementara pas di stasiun Lelylaan, petugas ga ada *sebenarnya ada counternya tapi ntah ke mana petugasnya*, terpaksa beli lewat mesin, dan kebingungan. Untunglah bertemu seorang ibu baik yang membantu kami membeli tiket lewat mesin.

Kami mendarat di Belanda sekitar jam 12.30 waktu Belanda, setelah terbang berbelas-belas jam lamanya. Badan masih cape, belum lagi jet lag. Hari itu kami cuma  jalan-jalan sebentar ke Dam Square, makan di Mc D, foto-foto sebentar, belanja groceries di Albert Heijn, dan kembali ke Hotel. Hotelnya walau jauh dari pusat keramaian, tapi dikelilingi sama public transportation yang mempermudah hidup. Ada stasiun metro Isolatorwerg, dan ada halte tram line 2 bernama Johan Huizingalaan.

Hari pertama di Belanda, saya langsung melihat keterikatan antara Indonesia dan Belanda, mungkin efek Indonesia lama dijajah Belanda kali ya. Jadi banyak bahasa Indonesia yang memang merupakan bahasa serapan dari bahasa Belanda. Di Mc D, salah seorang kasirnya mengajak kami ngobrol dan begitu tahu kami dari Indonesia, dia langsung berbahasa Indonesia walau bahasanya sangat baku dan logatnya ala bule banget. Ternyata bapaknya orang Makassar yang menikah dengan orang Belanda dan mereka tinggal di Belanda. Di supermarketnya terpampang poster bertulisan “Gratis”, yang tentu spellingnya berbeda karena “G” di Belanda kabarnya dibaca seperti huruf “H” tapi susah deh H-nya. Selain itu di rak-rak barang di supermarket pun banyak saya temui produk-produk yang harusnya sih bertuliskan bahasa Indonesia, seperti emping blado dan ketjap manis, bumbu nasi dan bami goreng. Ah menarik sekali.

Malam pertama di Belanda, saya ngantuk luar biasa. Mungkin efek jet lag, selain itu selama di pesawat kan juga ga tidur nyenyak banget. Maka hari pertama di Belanda berlalu begitu saja. Kami pulang ke hotel dan tidur cepat untuk mengembalikan energi yang terkuras karena besoknya kami akan memulai perjalanan ke luar kota dengan mengendarai mobil sewaan. 

20 November 2016
Efek jetlag bikin saya uda kebangun jam 5 pagi, kelaperan pula. Setelah memaksakan mata untuk tetap terpejam sambil berharap bisa tertidur lagi, akhirnya jam 6 pagi saya menyerah, bangun dan masak air panas buat merendam Super Bubur yang saya bawa dari Indonesia. Teman-teman saya ternyata udah pada ga bisa tidur juga. Maklum lah, jam 5 pagi di Belanda, udah jam 11 siang di Indonesia. Badan kami masih badan Indonesia. Setelah menyiapkan bekal buat makan siang di perjalanan nanti (saya bawa nasi sama rendang), kami pun berangkat menuju ke tempat persewaan mobil Europcar. 

Kami membeli 24 hours pass dari resepsionis hotel untuk naik tram, seharga 8,5 euro. Menurut petunjuk yang didapat teman saya, kami harus naik tram nomor 2 ke halte Corn. Schuytstraat, terus berjalan melewati Vondel Park. Beruntung kami bertemu seorang penduduk lokal ganteng yang lagi bawa anjingnya jalan pagi dan ternyata pernah tinggal di Indonesia, melihat kami kebingungan, dia menghampiri dan menunjukkan jalan sampai di satu titik kami harus mengandalkan diri sendiri lagi, tentu berdasarkan petunjuk yang ditinggalkan oleh si om ganteng tersebut.

Bulan November ternyata masih musim gugur di Belanda - kirain sudah masuk musim dingin
Sampai di kantor Europcar, kami mengisi data, menunjukkan SIM Nasional dan SIM International dan di-briefing tentang mobil yang kami sewa, Peugeot matic ntah tipe apa. Modelnya kecil kaya Honda Jazz. Di antara kami ber-3, hanya saya dan seorang teman yang bisa nyetir. Saya yang menyetir pertama gara-gara kalah pas undian hahaha. Duh, grogi. Setir kiri-nya ternyata ga terlalu jadi masalah. Masalahnya adalah letak tongkat wiper dan lampu sein yang terbalik. Alhasil saya salah mulu. Rambu-rambu lalu lintas sangat jelas, kelewat jelas malah. Menyetir di dalam kota jauh lebih pusing, tapi begitu udah menuju jalanan ke luar kota (semacam highway alias jalan tol di Indonesia), udah enak banget. Tinggal lurus aja, sambil tetap memperhatikan laju kendaraan karena di beberapa potongan jalan, maximum speed-nya beda-beda.

Setelah berkendara hampir 2 jam, sampailah kami di Giethoorn. GPS yang ada di mobil mewajibkan kita untuk menginput nama jalan dengan lengkap. Sementara kebiasaan saya dan teman kalau pakai Waze di Jakarta, ya tinggal menginput nama lokasi yang ingin dituju. Sementara, tidak ada petunjuk mengenai nama jalan lokasi desa wisata Giethoorn. Alhasil kami berputar-putar kebingungan mencari di mana kami harus parkir dan di mana sebenarnya desa wisata Giethoorn seperti foto-foto yang ada di internet. Untunglah setelah berputar-putar dan sedikit sok tahu, sampailah kami di area parkir depan supermarket. Ternyata di belakangnya ada sebuah cafe kecil yang menyewakan perahu untuk berkeliling Giethoorn. Setelah beli tiket, kami kembali ke mobil untuk makan siang soalnya perahu baru berangkat 1 jam lagi *lagi-lagi ketemu bule ganteng yang jaga loket*.

Boat tour di Giethoorn memakan waktu sekitar 1 jam, berkeliling kanal-kanal di sana, kemudian mendengar sedikit cerita tentang Giethoorn yang diceritakan oleh nahkoda perahu *yang lagi-lagi ganteng juga*. Perahu yang kami naiki cukup besar, dan karena sedang winter maka perahu tertutup untuk menjaga supaya penumpangnya tetap hangat. Tapi yang menyebalkan jadi tidak bisa berfoto dengan leluasa karena tutup yang terbuat dari plastik tebal itu terkena titik-titik air hujan. Fotonya jadi ga clear deh.
Suasana di dalam boat, ga terlalu ramai

Gedung pertemuan di Giethoorn, difoto dari dalam boat - jadi ada titik-titik air dari jendela boat

Amazed banget liat perumahan di antara air ini

Setelah 1 jam berkeliling dengan perahu, kami sampai kembali di titik awal keberangkatan dan kami memutuskan untuk berjalan kaki mengelilingi Giethoorn, napak tilas lagi rute-rute yang tadi dilewati perahu.

Setelah berputar sebentar, kami memutuskan kembali ke mobil karena angin yang mendadak bertiup super kencang, kalau kurang berat badan sih sepertinya bisa diterbangkan angin hahaha.
Sebenarnya ada kok jalan setapaknya di Giethoorn

Boat sedang melintasi salah satu kanal di Giethoorn

Dari Giethoorn kami kembali ke Amsterdam, di perjalanan saya menyupir, ngantuk luar biasa. Lagi-lagi masih jetlag. Untung ada cemilan dan teman mengobrol. Malam itu kami ke Heineken Museum di Amsterdam. Cari parkirnya susah banget, bingung harus parkir di mana. Tapi akhirnya kami menemukan jalanan kecil yang di kanan jalanannya penuh oleh mobil parkir dan ada satu slot kosong yang muat untuk mobil kecil kami.

Tiket masuk Heineken Museum sebesar 18 euro, sudah termasuk free 2 gelas bir. Museumnya menarik, menceritakan sejarah Heineken, proses pembuatan bir, sampai ada mesin-mesin brewing juga dipajang di museum ini. Jadi bir itu sebenarnya air kok, karena 94% air dan sisanya hops, barley dan yeast. Selain itu, ada juga jejeran kandang kuda berikut kudanya yang ternyata sampai sekarang pun kuda masih digunakan sebagai bagian dari promosi Heineken. Pada hari tertentu kuda-kuda ini akan berkeliling kota mempromosikan Heineken.
Bahan-bahan buat bir - 94% water, sisanya barley, hops dan yeast

Suasana di dalam musium-nya - yang gede-gede itu tempat buat nge-brew jaman dahulu kala

Tersangka yang bikin saya mual dan pusing - enak banget padahal, dinginnya pas

Ada kejadian menyebalkan buat saya di sini. Akibat minum satu gelas bir dalam sekali tarikan napas-maklum haus banget, dalam keadaan perut kosong, saya hampir pingsan. Pandangan sudah hampir hitam semua, mual, sempoyongan, keringat dingin-tapi karena winter keringatnya ga keluar, cuma dinginnya doank. Kunci mobil langsung saya serahkan ke teman. Tapi untunglah setelah duduk sebentar, keadaan membaik, dan setelah makan korean BBQ di restoran Korea bernama Khan, saya langsung segar kembali hihi
Restoran nya dikelola orang keluarga Korea yang lagi party karena ada salah satu dari keluarganya yang mo balik ke Korea
Demikianlah petualangan di hari ke-2 yang ditutup dengan makan Korean BBQ. Kemanapun perginya, makannya tetap makanan Korea.

No comments:

Post a Comment